Kita kehilangan abad 20." Demikian pendapat salah satu pemikir terkemuka Nigeria.
Kondisi ekonomi banyak negara Afrika memang sangat terbelakang. Indikator sosial,
yang umumnya berkaitan erat dengan tingkat kemajuan ekonomi, juga menunjukkan
keterbelakangan mereka. Di-tengah situasi demikian, hutang negara negara Afrika
makin mempersulit proses reformasi ekonomi yang selalu didengungkan oleh hampir
semua pihak, termasuk Bank Dunia dan IMF.
Banyak lembaga internasional yang berusaha mencarikan jalan keluar, bahkan negara
"selatan" lain, termasuk Indonesia, juga berusaha membantu. Perhatian dunia memang
makin besar, meskipun frustrasi yang muncul juga tidak kalah besarnya.
Bukan kebetulan kalau Presiden Bank Dunia yang sekarang, begitu menempati posisinya
langsung melakukan kunjungan pertama ke benua ini. Sekedar simbolis?
Mungkin ya mungkin tidak.
Banyak strategi dan kebijakan yang sudah disampaikan kepada pemerintah Afrika.
Ada usulan yang baik, didasarkan pada studi mendalam serta mengikut-sertakan input
masyarakat Afrika sendiri, namun juga tidak sedikit usulan teknokratis yang abstrak
dari kenyataan dunia Afrika. Tapi fakta menunjukkan bahwa dalam dekade terakhir ini
tidak banyak hasil yang dicapai. Bagi beberapa pihak, ini sumber frustrasi,
tapi bagi yang lain, kesabaran lebih banyak dituntut. Argumentasi kaum optimis:
yang penting arah kebijakan sudah dibenarkan, dan untuk melihat hasilnya kita perlu
lebih sabar menunggu.
Apakah begitu suram keadaan di Afrika? Unsur non-ekonomi berperan sangat besar untuk
menjawab pertanyaan ini. Konflik antar-suku banyak terjadi, motif membangun untuk
kepentingan negara, bukan kepentingan suku dan teritorial, masih minim, dan tingkat
korupsi merajalela. Pemenang hadiah Nobel kesusasteraan dari Nigeria, Wole Soyinka,
bahkan beranggapan bahwa masyarakat di sana sudah "morally bankrupt".
Sebelum unsur unsur ini teratasi, sulit mengajukan proposisi untuk perbaikan ekonomi.
Demikian pendapat sebagian besar akhli, termasuk pihak asing, yang pernah diminta
memberi saran kepada pemerintah Afrika. Apa benar pendapat semacam ini? Bukankah itu
semacam pengakuan implisit bahwa ilmu ekonomi tidak dapat memecahkan masalah sosial
kemasyarakatan di Afrika? Tapi, Nigeria memang kekecualian, jadi tidak bisa dijadikan ukuran.
Sejak boom minyak tahun 1974, makin terlihat jelas bahwa sumber alam tersebut lebih
merupakan curse than blessing bagi mereka.
Sebenarnya, untuk Afrika ada satu hal yang cukup memberi harapan. Meskipun tidak semua,
sebagian besar negara di benua tersebut mulai menunjukkan perbaikan di bidang
ekonomi makro. Program reformasi ekonomi yang mereka lakukan sejak tahun 1980an mulai
menunjukkan hasilnya. Namun, sayang sekali kelanjutan dari perbaikan makro belum
tercermin dalam banyak segi kehidupan masyarakat, apalagi mereka yang tergolong miskin
dan tidak tinggal di daerah perkotaan. Ini suatu contoh klasik kesenjangan antara
indikator makro dan gejala mikro.
Ada dua atau tiga contoh negara yang menyandang predikat sukses dalam ekonomi
makro mereka. Ghana salah satunya. Dalam beberapa tahun terakhir, tepatnya sejak
"Economic Recovery Program" dicanangkan tahun 1983, pertumbuhan ekonomi Ghana mencapai
rata-rata 5% per-tahun, suatu angka yang sudah tergolong tinggi untuk ukuran Afrika.
Tidak ada hal yang aneh dari prestasi tersebut. Kita semua, terutama dari kawasan
Asia Pasifik, sudah faham dengan indikator yang umumnya menyertai keberhasilan
tersebut: perekonomian yang makin terbuka (porsi ekspor impor dalam GDP Ghana naik
dari 32% tahun 1986 menjadi 55% tahun 1994), peran sektor swasta makin besar,
dan proses perubahan struktural dari pertanian ke industri juga terjadi dengan cepat.
Implikasi pertumbuhan juga tidak terlalu mengherankan. Tingkat kemiskinan di Ghana
turun dari 37% tahun 1987 menjadi 32% tahun 1991, dan proses perbaikan semacam ini
terjadi baik di kota maupun di daerah pedesaan.
Namun, juga sesuai dengan perkiraan kita, program reformasi yang menghasilkan pertumbuhan
dan pengurangan kemiskinan diikuti oleh ketimpangan distribusi pendapatan. Perbaikan
infrastruktur sosial, seperti kesehatan dan pendidikan, tidak banyak dirasakan oleh
kelompok yang paling miskin, karena sebagian besar fasilitas tersebut berada
di daerah perkotaan.
Contoh "sukses" lain terjadi di Pantai Gading (Ivory Coast). Pertumbuhan ekonomi negara
bekas jajahan Perancis ini bahkan lebih tinggi dari Ghana, antara 6% sampai 7%.
Kondisi infrastruktur fisik, paling tidak dilihat dari gedung gedung dan kondisi jalan,
cukup impresif (menurut ukuran Afrika). Namun, pada saat yang sama kita juga dengan
segera dapat menangkap kondisi keterbelakangan: tidak ada sense of order! Masuk ke toko,
kita juga dapat melihat bahwa jenis barang yang dijual memang sesuai dengan tingkat
pendapatan per-kapita mereka yang masih rendah.
Seperti halnya di negara miskin lain, banyak program pemerintah diarahkan untuk pengurangan
kemiskinan. Di Pantai Gading, hal ini dilakukan antara lain melalui suatu program yang
mereka sebut sebagai "Social Funds" (SF), dimana pengusaha kecil diberi pinjaman ringan
untuk membuka usaha, tapi persyaratan usulan tidak diterapkan terlalu ketat dan dengan
administrasi yang sangat minim. Kira kira program SF mirip dengan gabungan konsep IDT
dan KUK di Indonesia.
Bagaimana hasil SF? Tidak terlalu mengherankan: kurang mengenai sasaran! Contoh ekstrim,
salah satu proyek yang penulis kunjungi menggunakan SF untuk kegiatan perdagangan.
Tapi, anehnya dana tersebut dipakai untuk mengimpor keran mewah dari Itali, lalu dijual
di Abijan, kota terbesar di Pantai Gading. Jelas bahwa komoditas tersebut tidak ada
sangkut pautnya dengan masyarakat miskin, dan penerima dana SF pun bukan tergolong
miskin. Masih banyak kasus serupa yang kita temui dari proyek yang dibiayai oleh SF. Contoh Ghana dan Pantai Gading di atas tergolong contoh "sukses" menurut ukuran Afrika.
Dapat dibayangkan bagaimana keadaan di negara Afrika yang lain.
Peran bekas pemerintah kolonial juga tidak selalu positif. Sebagai contoh, dalam rangka
program privatisasi, pemerintah Pantai Gading memutuskan untuk meprivatisasi sektor
telekom mereka. Sesuai dengan saran lembaga internasional, proses privatisasi harus
melalui penawaran terbuka. Hasilnya? Perusahaan telkom Malaysia pemenang pertama,
diikuti oleh AT&T dari AS, lalu perusahaan dari Perancis nomor tiga. Dalam kenyataan,
melalui "tekanan" pemerintah Perancis perusahaan nomor tiga yang dimenangkan.
Bagaimana dengan sektor pendidikan? Kondisi pendidikan di Afrika cukup menyedihkan.
Sebagai ilustrasi, rasio anak usia sekolah SD yang benar benar sekolah
(school enrollment ratio, atau SER) bukan hanya rendah tapi terus turun dalam dekade
terakhir. Tahun 1980, SER rata-rata Afrika 80.8%, dan tahun 1993 hanya 72%.
Melihat statistik SER seluruh dunia, termasuk negara berkembang, umumnya selalu
ada peningkatan SER, tapi ternyata Afrika merupakan kekecualian. Data terakhir
menunjukkan bahwa pada tahun 1995 masih sekitar 40 juta anak di Afrika yang
tidak pernah sekolah.
Apa begitu penting pendidikan ini? Para akhli dapat memberi berbagai macam argumentasi
tentang pentingnya unsur lain, tidak hanya pendidikan. Tapi, umumnya semua sepakat
bahwa soal pendidikan tidak dapat ditawar lagi sebagai persyaratan bagi suatu masyarakat
untuk maju. Sekedar sebagai ilustrasi, tahun 1960an (atau 35 tahun lalu), SER Jepang
sudah 100%, dan pada akhir 1980an semua negara di Asia Pasifik sudah mencapai angka 100%.
Hasilnya? East Asian Miracle, yang sebetulnya bukan miracle sama sekali.
Di pihak lain, India mempunyai catatan prestasi kurang baik dari sudut SER.
Masih sekitar 50% penduduk India tidak pernah menikmati pendidikan SD samasekali.
Hasilnya? Bandingkan pertumbuhan ekonomi India dan Asia Pasifik.
Kembali ke Afrika, dengan tingkat pendidikan yang begitu rendah, banyak yang kemudian
bertanya: apakah kebijakan liberalisasi perdagangan dan ekonomi dapat membantu mereka?
Apa arti WTO, perdagangan bebas dan deregulasi bagi mereka? Bagaimana mungkin masyarakat
yang 60% sampai 70% tidak pernah sekolah dapat ikut menikmati ataupun memberi kontribusi
pada proses liberalisasi ekonomi? Suara dan pertanyaan semacam ini banyak anda dengar dari
masyarakat berbagai lapisan di Afrika, termasuk dari para intelektual
(mahasiswa, profesor dan peneliti).
Jadi bagaimana? Dari sudut mana saja, sulit mengharapkan perbaikan di Afrika kalau
reformasi ekonomi (termasuk liberalisasi perdagangan, privatisasi dll) tidak dilakukan
mereka. Namun, bagaimana mungkin dampak reformasi dinikmati sebagian besar masayarakat
(yang masih miskin)? Umumnya, solusi yang diajukan, termasuk oleh Bank Dunia, adalah:
lakukan reformasi secara selektif, dengan memilih jenis deregulasi yang akan cepat memberi
manfaat masyarakat banyak. Artinya, ada kesadaran bahwa kalau program reformasi tidak
memberi hasil cepat, dukungan dan partisipasi masyarakat terhadap program tersebut
akan hilang, dan kalau hal itu sudah terjadi, secara politis akan susah bagi siapapun
yang memerintah untuk melanjutkan program perbaikan.
Mencari sinisme masyarakat di Afrika terhadap program liberalisasi ekonomi, termasuk
dari kaum intelektual, semudah mencari penduduk Afrika yang tidak bekerja (menganggur).
Hampir di mana mana ada.